JURNALISME ONLINE- Jejak pembantaian 1965 di Aceh Tengah dapat dilacak dari kisah sebuah desa yang dicap desa PKI
, arak-arakan massa membawa potongan kepala petinggi PKI, hingga teka-teki siapa yang membakar sebuah masjid dua bulan jelang G30S 1965.
Pemandangan horor di wilayah itu terjadi usai 1 Oktober 1965. Ketika itu, jenazah salah seorang pimpinan lokal PKI disembelih. Mayatnya kemudian dibuang
dan kepalanya sengaja diarak keliling kota Takengon.
Arak-arakan massa menenteng potongan kepala ini menjadi tontonan sebagian warga kota itu ketika gelombang pembantaian terhadap orang-orang komunis tengah digencarkan.
Aksi brutal itu hanyalah salah satu dari berbagai kasus kekerasan di wilayah itu dengan korban orang-orang komunis serta mereka yang dikaitkan dengan PKI.
Jumlah korban meninggal di Aceh Tengah terbilang paling tinggi jika dibandingkan beberapa wilayah lainnya di Aceh, ungkap penelitian sejarawan Australia, Jess Melvin.
Dokumen internal militer Aceh, seperti terekam dalam penelitian sejarawan Australia, Jess Melvin (dan diterbitkan dalam buku The Army and The Indonesian Genocide-Mechanics of Mass Murder, 2018 — akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada Januari 2022), menyebut setidaknya ada 500 orang dibantai di dataran tinggi itu.
Namun sebuah penelitian independen yang sedang berlangsung, memperkirakan operasi pembersihan orang-orang komunis itu mengakibatkan 2.500 mati terbunuh.
Diperkirakan angka versi militer ini jauh lebih sedikit dari perkiraan para peneliti dan pegiat HAM. Diperkirakan 3.000 hingga 10.000 telah dibantai dalam kurun waktu 1965-1966 di Aceh. Trauma akibat kekerasan dan stigma anti Tuhan, membuat sebagian besar keluarga penyintas 1965 di Aceh Tengah lebih memilih menutup rapat-rapat masa lalunya.
Namun demikian, sejumlah warga Takengon menawarkan semacam jalan keluar dari luka-luka masa lalu itu dengan caranya masing-masing.
Bagaimana nasib keluarga pimpinan PKI yang potongan kepalanya diarak?
Kembali ke peristiwa arak-arakan membawa potongan kepala pimpinan PKI itu tadi. Lebih dari 55 tahun kemudian, tindakan sadis itu masih menghantui masyarakat di sana. Tapi, bagaimana nasib keluarga korban yang kepalanya diarak itu?
Tidak banyak yang tahu. Selama puluhan tahun keluarganya memilih mengubur dalam-dalam episode gelap dalam hidup mereka. Namun pada awal Oktober 2021 lalu, melalui sumber BBC News Indonesia di Takengon, salah seorang cucu sang korban menyatakan bersedia untuk bersaksi. Pria ini berusia 30an tahun. Siang itu kami bertemu di sebuah hotel di Kota Takengon. Kami semula mengira dia bersedia mengungkap jati dirinya, namun pada detik-detik terakhir dia meminta identitasnya disamarkan.
“Saya harus melindungi keluarga, ibu saya masih sakit,” kata Budi — bukan nama sebenarnya — menjelaskan alasannya. Alasannya lainnya, Budi khawatir kesaksiannya ini akan memancing tudingan seolah-olah dirinya “membela” PKI. “Padahal saya mau ungkap sebuah kebiadaban masa lalu,” katanya.
Dia tidak siap menghadapi bombardir stigma “PKI” diarahkan kepadanya. “Saya punya anak dan istri,” ujarnya. Akhirnya kami sepakat untuk menyamarkan identitasnya.
Kakek saya disembelih, dan kepalanya diarak di Takengon
Cerita pun mengalir dari mulut Budi. “Kakek saya pengurus PKI dan serikat buruh di Aceh Tengah,” ungkapnya membuka kisah. Dia tinggal di Kota Takengon. Tidak lama setelah G30S 1965, kakeknya ditangkap bersama ratusan orang-orang tertuduh komunis lainnya.
Setelah sempat dipenjara, sang kakek dan tahanan lainnya dinaikkan ke dalam truk menuju kawasan perbukitan di pinggiran kota. Di sisinya ada jurang nan dalam. Masyarakat Takengon dan sekitarnya menyebut kawasan yang kadang-kadang diselimuti kabut itu sebagai bur Lintang — bur artinya gunung atau bukit dalam bahasa Gayo.
Di sanalah orang-orang yang kepalanya ditutup karung itu antre untuk disembelih atau ditembak. Tapi, “kakek saya lari, dia loncat” bersama dua orang lainnya. Sempat bersembunyi di hutan dan perkebunan kopi, dia memutuskan kembali ke rumah karena kelaparan. Di dalam rumah, neneknya dan anggota keluarga lainnya diinterogasi aparat.
“Nenek saya diikat di batang kopi,” ungkapnya. Singkat cerita, sang kakek akhirnya tertangkap dan dieksekusi di rumahnya. “Ditembak dulu lalu dipenggal [kepalanya].” Tanpa kepala, jenazah kakeknya dibuang ke bawah jembatan.
“Lalu, kepala kakek saya diarak di sekitar Takengon,” ujar Budi dengan kalimat datar. Arak-arakan itu kemudian berakhir di sebuah lapangan luas di pusat kota yang dipadati massa antikomunis. “Ini semacam pesta
bahwa pimpinan PKI itu sudah mati,” ungkapnya, mengutip cerita ibu dan ayahnya.
Nenek saya alami gangguan mental, ibu saya memendam sendiri deritanya
Sampai usia remaja, Budi tidak pernah mendapatkan informasi utuh tentang pembunuhan keji atas kakeknya. Juga apa yang melatari mengapa neneknya mengalami gangguan mental. Orang tuanya selalu menutup rapat-rapat tragedi itu. “Mungkin mereka tidak berani, ditutupi, karena dulu stigma [PKI] kuat sekali,” jelasnya. Budi kemudian teringat, ketika masih bocah, dia pernah menanyakan ihwal kebenaran desas-desus arak-arakan menenteng kepala kakeknya
kepada orang tuanya, tapi dia tak mendapatkan jawaban memuaskan.
Rupanya, ibunya lebih memilih memendam ingatan pedihnya untuk dirinya sendiri. Seiring pengetahuannya yang terus bertambah, Budi kemudian berusaha meyakinkan ibunya supaya mau bercerita. “Tak usah lagi disembunyikan, ibu,” kata Budi, mengulang lagi percakapan dengan ibunya. Dia merasa yakin bahwa dengan berbagi cerita itu akan membantu meringankan beban masa lalu ibunya.
Markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta, pada 8 Oktober, hancur lebur oleh amukan massa, menyusul Peristiwa G30S. Akhirnya,”dia mau cerita,” kata Budi. Menjelang kami wawancarai, Budi mengaku mengorek informasi terlebih dulu kepada ibu dan ayahnya — keduanya berusia 80an tahun — tentang tragedi itu.
“Semoga dengan kesaksian saya ini, membuat beban ibu saya berkurang,” katanya.
Yang mengerikan, anak-anak kecil pun dibantai
Peristiwa sadis yang dialami keluarga Budi bukanlah contoh satu-satunya di Aceh Tengah. Sebuah penelitian independen mengungkapkan ada sebuah kasus kekerasan 1965 yang korbannya adalah anak-anak. “Dan, yang lebih mengerikan, yang mati dibunuh, bukan hanya orang tua, ada anak-anak yang dibantai,” ungkap Mustawalad, warga Takengon, yang meneliti kekerasan 1965 di Aceh Tengah. Informasi ini didapatkan Mustawalad dengan mewawancarai beberapa orang yang menyebut dirinya sebagai pelaku dan sejumlah saksi mata. Dia kemudian menyebut sebuah kampung di Kecamatan Kebayakan, Kabupaten Aceh Tengah.
“Kenapa mereka dibantai? Apakah bapaknya salat? Salat! Kenapa dibantai? Ya, karena PKI!” Mustawalad mengulang percakapannya dengan seseorang yang mengaku sebagai pelaku. Pembantaian terhadap anak-anak yang orang tuanya dicap komunis itu sempat membuat Mustawalad dihantui mimpi buruk. “Apa hubungan anak kecil yang masih sekolah dasar dengan [pilihan] politik orang tua mereka?” katanya saat ditemui BBC News Indonesia di Takengon, Oktober lalu.
“Kebodohan apa yang telah mereka lakukan? Saya tidak habis pikir,” tambah Mustawalad, yang pernah aktif di organisasi Kontras di Jakarta dan Banda Aceh. Kejadian kekerasan ini kemudian memotivasi dirinya untuk meneliti berbagai peristiwa kekerasan 1965 di tanah kelahirannya. Sejak 2006, Mustawalad melakukan penelitian secara independen.
Dia mewawancarai korban dan keluarganya, para pelaku, saksi mata serta mendatangi lokasi pembantaian di Aceh Tengah. Bersama Mustawalad, kami kemudian mendatangi salah-satu lokasi pembantaian, yaitu di Bur Lintang. Jaraknya sekitar 21km dari Takengon. Ini adalah kawasan pegunungan yang memiliki tebing curam dan dalam. “Ini salah-satu lokasi di mana sebagian besar korban dibantai,” ungkapnya. Di Aceh Tengah ada sekitar 13 lokasi pembantaian.
“Dari riset awal, kami menemukan sekitar 2.500 korban. Bandingkan saja dengan jumlah penduduk Aceh Tengah yang hanya 25.000 pada saat itu,” katanya. Mustawalad juga pernah menulis bahwa banyak warga yang ditangkap dan dibantai karena hanya mendapat informasi yang tidak jelas. “Informasi ini lebih banyak berdasarkan fitnah,” tulisnya di Majalah Pantau, awal Februari 2008. “Biasanya pelapor mempunyai dendam pribadi terhadap korban… Tak ada verifikasi, yang dituduh dapat langsung di-PKI-kan dan selanjutnya dibantai,” lanjutnya.
Mustawalad pernah mewawancarai Ibrahim Kadir, penyair asal Gayo, Aceh Tengah, yang sempat ditahan dan terancam dieksekusi. Belakangan terungkap Kadir ditangkap “karena informasi yang salah”. Kadir bukanlah anggota PKI, tetapi PNI.
Dalam risetnya, dia juga menemukan bahwa pembantaian orang-orang yang dituduh PKI di Gayo juga dilatari dendam politik masa lalu. Ada sejumlah eks-pasukan DII/TII membalas dendam dengan ikut membantai orang-orang yang dicap PKI. “Rasakan ini pembalasan kami, gara-gara kamu [korban PKI] menjadi milisi, susah sekali kami,” ungkap Mustawalad, menirukan suara pelaku pembantaian. Selama pemberontakan DI/TII di Aceh, PKI mendukung sikap Jakarta yang mengirim pasukan untuk menumpas pemberontakan.
Mengunjungi Desa Nosar yang pernah dicap desa PKI
Salah-satu lokasi penelitian Mustawalad adalah Kampung Mude, Desa Nosar, di pinggir Danau Air Laut Tawar, Takengon. Pada 1965, sedikitnya 60 orang warga dari desa ini dibunuh karena dituduh komunis. Siang itu, pada pekan ketiga Oktober 2021, ketika langit berwarna alumunium, saya dan videografer BBC News Indonesia, Anindita Pradana, mengunjungi desa nan tenang itu.
Di salah satu sudut kampung itu berdiri sebuah masjid kuno. Di sanalah, kami bertemu Syahbandar, 52 tahun, salah seorang yang dituakan
. Syahbandar mengatakan, tuduhan desa PKI
itu sangat melukai warga, karena seolah-olah mereka dianggap antiTuhan. “Itu tidak benar,” katanya berulang-ulang. Dia kemudian mengungkapkan beberapa orang warga Desa Nosar yang dibunuh itu adalah “orang-orang pintar”.
“Ada isu (mereka yang ditangkap) adalah anti-Tuhan. Itu harus kami bantah, karena mereka yang tertumpas dan kena tangkap adalah tokoh-tokoh (intelektual dan agama),” ujarnya. Akan halnya ada sekitar 60 orang warga desa itu dibunuh, menurutnya, karena mereka tidak lari. Termasuk seorang imam di kampung itu “Mereka tidak lari, karena mereka pikir mereka tidak bersalah dan ini adalah negara hukum,” kata Syahbandar.
Dia juga menggarisbawahi bahwa kebanyakan warga Nosar yang dibunuh pada 1965 “tidak tinggal di desa, tapi di kota.” Demi membersihkan desa itu dari stigma PKI, Syahbandar bahkan menemui seseorang ulama berinisial TB yang disebutnya ikut terlibat pembantaian atas orang-orang yang dicap komunis di Aceh Tengah.
Sumber : VIVA